15 August 2011

Sesaat Menjadi Buruh Tani

Mulanya aku kerja di kota Cikarang, Jawa Barat.
Berbekal uang saku yang hanya sedikit, 60 ribu rupiah dan sebuah tas kecil, sepatu dan baju 2 setel, kuberanikan diri untuk merantau ke luar kota. Kota Metropolitan orang bilang.

Setelah dua tahun mengabdi pada sebuah perusahaan milik Jepang, akhirnya terpanggil juga untuk kembali ke desa.
Nah, di desaku itulah diriku mulai bekerja serabutan seadanya aku kerjakan, pokoknya halal meski hanya kecil pendapatan.

Diluar dugaan.
Ternyata kerja serabutan sebagai buruh tani telah menjadi sorotan orang sekampung.
Kontan saja almarhumah ibu menjadi malu dibuatnya, meski sebenarnya diriku tak malu, toh sebelumnya, kala masih sekolah SD, SMP, SMU itu semua sudah menjadi kebiasaanku sebagai buruh tani.

Tak kuat juga rasanya jika melihat ibu yang terus merenungi anaknya ini. Tanpa pikir panjang, setelah 2 bulan bergelut di pertanian itu, aku langsung mencari pekerjaan lain, yang sebelumnya ibu telah merestuinya.

Iseng-iseng diajak teman sekampun main internet, aku menganggukkan kepala tanda setuju. Di warnet tarif per jam waktu itu masih 6 ribu rupiah.
Dari warnet inilah akhirnya aku mencari pekerjaan, karena sebelumnya dari papan pengumuman depnaker dan kantor pos, lowongan yang tersedia hanya sebagai TKI dan TKI.

Berlanjut nanti.